Pembodohan Rilis Hasil Survei?
Ya 2018 ! tahun dilaksanakan pilkada serentak. Ada 171 daerah yang akan melangsungkannya, itu artinya ada trilyunan rupiah akan dihabiskan. Berapa duit yang akan dihabiskan untuk penyelenggara; KPU, BAWASLU, KEAMANAN, cetak kertas suara, kotak suara, pendataan, sosisalisasi, rapat sana rapat sini, media pemberitaan heboh dan bersiaplah dunia medsos akan terjadi persitegangan peperangan urat saraf pihak pro vs kontra. Apa yang direbutkan sesungguhnya? Bersiaplah !
Komentar dan pendapat akan mengarah ke kedua sumbu panas utama yakni sumbu pro kawan dan sumbu kontra lawan. Ada yang terpublish online dan ada pertentangan secara offline tetapi lebih kepada yang sifatnya fisik ril. Kompetisi dapat berubah menjadi pertentangan, perbedaan dukungan dapat merusak hubungan perkawanan bahkan hubungan keluarga akan menjadi retak. Mengerikannya dapat memicu keretakan dan perpecahan kehidupan berbangsa dan bernegara, naudzubillah.
Media mainstream memainkan peranan sentral, argumentasi pemberitaan mereka seakan tafsir ayat-ayat dari tuhan, sulit dibantah dengan menyajikan data-data dan fakta tapi biasanya tetap dalam frame pro vs kontra. Apalagi argumentasi pemberitaan didasarkan pada hasil survey sebuah lembaga atau kelompok yang punya brand nasional dimana apa saja yang mereka kemukakan seakan itulah kenyataan yang terjadi.
Menjelang pelaksanaan pilkada DKI beberapa waktu lalu Ahok hampir selalu menempati point tertinggi dalam setiap rilis survey. Selanjutnya muncul nama AHY dan Anis-Sandi yang tidak seberapa angka survey awalnya. Ya pada gong hari pemungutan suara ternyata pilkada tidak selesai melainkan akan dilakukan pemungutan suara lagi di putaran kedua. Pada masa menjelang putaran kedua ini issue saling menjatuhkan semakin meruncing dengan ditandainya keributan yang luar biasa di ibukota. Sepanjang usia pemilu lokal baru kali ini pemilu daerah terasa seperti pemilu nasional.
Hanya ada dua alat prediksi hasil pilkada yang dianut manusia pemilu Indonesia saat ini. Satu; DUKUN rasa magis, dan yang kedua; rilis hasil survey.
Padahal keduanya sama – sama berpeluang menipu pemilih. Karena apa? Karena sebagian besar pemilih tidak tahu caranya memprediksi, tahunya hanya menerima dan mengomentari hasil prediksi bukan bertanya seperti apa prosesnya hingga mendatangkan hasil prediksi tersebut.
Hasil survey yang dirilis itu niatnya mengarahkan pemilih demi kepentingan tertentu. Mana ada pemberitaan itu netral. Hal ini yang sering terlupa untuk disadari. Hasil survey itu bukan sabda seorang Nabi apalagi ucapan seorang dukun. Proses survey itu bukan perkara ghaib untuk diketahui oleh semua pemilih dan rakyat Indonesia.